Sadranan, Akulturasi Budaya Jawa dan Islam Untuk Menghormati Leluhur

Aktifitas warga Padangsari Semarang saat Sadranan
SEMARANG, pcnukotasemarang.com – Paguyuban Keluarga Besar Padangsari (PAGARSARI), akhirnya bisa melaksanakan Sadranan setelah dua tahun tertunda karena situasi pandemi. Walapun saat ini harus dalam protokol kesehatan yang ketat.

Budi Harjo selaku ketua paguyuban menyampaikan bahwa sadranan adalah kearifan lokal kampung Padangsari yang dari dulu tetap dilaksanakan dengan menyelaraskan budaya dan agama.
“Warga tetap bisa menjalin silaturahmi dengan memperhatikan kebersihan makam paguyuban serta bisa berkirim doa secara berjamaah dengan warga lainnya,” jelas Budi, Jumat (4/3/2022).

Sadranan merupakan tradisi Jawa yang telah berjalan selama ratusan tahun. Tradisi ini adalah hasil akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Dalam kalender Jawa, bulan Syaban disebut juga dengan Bulan Ruwah, sehingga Sadranan juga dikenal sebagai acara Ruwah. Setiap menjelang Ramadan, tepatnya pada bulan Sya’ban, masyarakat Jawa, selalu melakukan tradisi Sadranan.
Dengan membersihkan makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa atau selamatan bersama di sekitar area makam, Sadranan berasal dari Bahasa Sansekerta ‘Sraddha’ yang artinya keyakinan.
Para pewaris tradisi ini menjadikan Sadranan sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Biasanya, Sadranan diadakan satu bulan sebelum bulan puasa, atau pada 15, 20, dan 23 bulan Ruwah.
Masing-masing daerah di tanah Jawa punya ciri khas masing-masing dalam tradisi ini. Seperti yang dilakukan warga Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, selain bersih makam dan mendoakan leluhur, mereka juga melakukan potong tumpeng serta membawa makanan dari rumah untuk dimakan bersama-sama.
Menurut Budi, kegiatan yang dilakukan sejak 1970an ini merupakan sebuah kearifan lokal yang perlu dilestarikan, agar keberadaan makam tetap diketahui sejarahnya. Budi juga menyampaikan terimakasih kepada pengurus dan warga paguyuban yang telah berhasil membangun mushola di area makam untuk bisa bermanfaat bagi pengunjung makam yang berziarah.
Lurah Padangsari, Sri Agustin menambahkan, tradisi ini merupakan hal yang unik dan merupakan sebuah kearifan lokal yang tetap dilestarikan oleh warga Padangsari. Meski baru empat bulan menjabat, ia bisa merasakan spirit warganya yang rukun, ramah dan sangat antusias menyambut Sadranan.
“Ini membuktikan bahwa warga memiliki ikatan emosional yang kuat. Terbukti dari tahun ke tahun, selama pandemi saja tidak dilaksanakan,” terang Sri Agustin, usai meresmikan musala di area makam Padangsari.
Apalagi, lanjut dia, akan dilaksanakan acara pengajian Majlis Haul Akbar dan Pementasan Wayang Kulit yang sudah menjadi agenda paguyuban.
Acara yang dimulai pukul 06.30 WIB itu juga dihadiri oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK), TNI, Polri, tokoh masyarakat, pengurus paguyuban serta warga yang terdiri dari warga Padangsari dan juga sebagian warga yang bertempat tinggal kelurahan Gedawang dan Banyumanik. (Mushonifin)